Dengan
belajar dari kesalahan, kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik.
Nah, Apakah Anda termasuk orang tua yang kerap melakukan salah satu,
beberapa, atau semua hal berikut ini? Bila ya, segera lakukan koreksi
agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi cerdas, terampil,
mandiri, dan ekspresif.
1. MEMAKSA ANAK MENGHENTIKAN AKTIVITASNYA
Di usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang
terfokus pada dirinya. Contoh, asyik menonton televisi atau asyik
mengutak-utik hobinya semisal menggambar. Saking asyiknya, si anak
sampai "lupa" waktu: waktu untuk makan, tidur, mandi, dan lainnya. Di
sisi lain, anak usia prasekolah memang belum paham mengenai konsep waktu
sehingga masih perlu diingatkan. Ia pun sedang dalam tahap belajar
menyesuaikan diri dengan aturan dan tuntutan yang ada di lingkungannya.
Sayangnya, banyak orang tua tak paham akan hal ini. Hingga yang kerap
terjadi, umumnya orang tua malah akan menyuruh anak untuk menghentikan
keasyikannya itu, "Kakak, ayo, menggambarnya udahan. Sekarang waktunya
mandi!" Jika si anak menolak, "Sebentar, Ma, dikit lagi, nih!", orang
tua pun memaksa, "Tidak! Sekarang sudah waktunya mandi, jadi kamu harus
mandi!" Padahal, sikap orang tua yang demikian hanya akan membuat anak
jadi tak punya otoritas terhadap diri sendiri karena anak tak punya
kemampuan memutuskan sendiri apa yang menjadi prioritasnya. Di masa
depan, tentu sulit bila anak tak punya kemampuan memutuskan apa yang
penting dan menjadi prioritas hidupnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Selama ini, memang orang tualah yang selalu membuatkan jadwal untuk
anak. Misal, jadwal mandi, makan dan tidur. Mengapa tidak memberi mereka
kesempatan pada anak untuk mengatur sendiri jadwalnya? Jikapun anak
masih melakukan aktivitas lain sehingga melanggar jadwal yang dibuatnya,
orang tua dapat memberinya pengertian, "Kak, sekarang, kan, sudah jam
5. Ayo, jadwal Kakak, kan, jam 5 Mandi. Itu angkanya sudah jam 5,
berarti kakak harus mandi." Bila mereka masih ingin mengulur waktu,
berikan tenggang yang tak terlalu lama, "Oke, Mama kasih waktu 10 menit
lagi, ya. Kalau jarum panjang ini sudah sampai di angka 2 (pukul 5 lebih
10), berarti Kakak harus berhenti menggambar, lalu mandi. Kalau ditunda
lagi nanti kemalaman."
Beri juga pengertian, pentingnya
menepati jadwal yang sudah dibuat sendiri. Tentu orang tua juga tak
boleh terlalu saklek. Bila hari libur, jadwal anak boleh lebih santai.
Sebaliknya, bila anak harus les atau diajak pergi, terangkan lebih awal
bahwa jadwalnya "terpaksa" berubah. Contoh, "Kak, hari ini mandi sorenya
jam 4, ya, karena Kakak akan Ibu ajak pergi."
2. MENYUAPI MAKAN
Banyak orang tua masih kerap menyuapi anaknya makan. Umumnya supaya si
anak mau makan. Apalagi di usia prasekolah, kalau sedang asyik menekuni
sesuatu kegiatan, anak bisa sampai lupa waktu. Nah, daripada si anak
tertunda waktu makannya, maka orang tua pun menyuapinya sambil si anak
tetap asyik dengan aktivitasnya itu.
Padahal, jika anak tak
dibiasakan makan sendiri, bisa-bisa sampai di akhir usia prasekolah pun,
si anak belum terampil makan sendiri. Padahal, di usia 5 tahun harusnya
anak sudah bisa makan sendiri, bahkan memotong makanan dengan pisau.
Selain itu, dengan orang tua terbiasa menyuapi anaknya makan, anak jadi
tak mandiri. Bisa-bisa, mereka hanya mau makan bila disuapi oleh ibu
atau pengasuh. Nah, bila kebetulan ibu pergi atau si pengasuh repot,
tentu mereka tidak akan makan, kan?
Kesalahan ini sering juga
bersumber pada anggapan, anak yang gemuk mencerminkan orang tua yang
pandai merawat. Bila si anak kurus, orang tua takut dianggap tak
perhatian pada anak. Itulah sebabnya, bila anak mulai ogah-ogahan makan,
orang tua pun panik. Selanjutnya, acara makan seringkali menjadi ajang
berantem antara orang tua dan anak, lantaran orang tua memaksa si anak
untuk makan.
Padahal, gemuk-kurusnya si anak tak dapat
dijadikan patokan untuk menilai "kepandaian" orang tua dalam merawat
anak. Di sisi lain, tak heran bila disuruh makan, ia lantas menolak.
Jika dipaksa, lambat-laun akan membuat anak mengasosiasikan acara makan
sebagai suatu yang tidak menyenangkan sehingga makannya malah makin
susah. Padahal, kalau saja orang tua tahu triknya, anak pasti akan
makan. Yang penting kita yakin anak tidak mau makan bukan karena sakit.
Cirinya, meski tak mau makan, anak tetap aktif melakukan kegiatannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Bila anak asyik menekuni sesuatu sampai lupa waktu makan, orang tua
harus menerangkan perlunya makan. Misal, "Kalau Kakak tidak mau makan,
Kakak akan sakit. Kalau Kakak sakit, nanti enggak bisa main dan ke
sekolah, loh. Kan, nanti juga enggak bisa main di sekolah."
Jika anak tak mau makan tapi tetap melakukan kegiatan, berarti memang
dia sedang memilih untuk menunda makannya. Tak usah memaksa, taruh saja
piring makanan di sebelahnya dan minta ia makan bila sudah selesai.
Atau, pada saat dia sedang asyik bermain, sediakan saja finger
food/cemilan yang mudah mereka comot tanpa harus meninggalkan
keasyikannya. Sebaiknya selalu sediakan cemilan sehat yang mengandung
gizi cukup, semisal bakwan sayuran. Setelah mereka bilang lapar, baru
sediakan nasi beserta lauk pauk lengkap.
Trik lain, saat waktu
makan tiba, bila perlu kita tawarkan anak mau makan apa. Biasanya, kalau
karena pilihannya sendiri, anak akan makan dengan lahap.
3. TIDAK MENANGGAPI AJAKAN BERKOMUNIKASI
Sering karena sedang asyik memasak di dapur atau membaca koran, kita
"mengusir" anak yang ingin mengajak ngobrol. Padahal, di usia
prasekolah, otak anak selalu dipenuhi keingintahuan yang maunya segera
dijawab, tak peduli pada kesempatan apa pun.
Bila setiap saat
anak mengeskpresikan keingintahuannya tapi tak pernah direspons dengan
tepat, maka rasa ingin tahu ini lama-lama terkikis habis. Anak jadi
malas bertanya, karena setiap kali bertanya, tak pernah digubris orang
tuanya.
Lebih parah lagi, anak jadi apatis. Pada setiap
kesempatan, dia tetap saja malas buka mulut karena tumbuh perasaan,
dirinya mengganggu buat orang tua. Di lain pihak, orang tua maunya anak
selalu ingin tahu dan berani mengekspresikan pikiran-pikirannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Harusnya, orang tua tak mematikan keingintahuan anak. Bila anak
bertanya di saat kita sedang repot atau sedang tak ingin diganggu,
buatlah kesepakatan dengan anak. Katakan padanya, misal, "Kak, Mama
sedang repot di dapur. Bagaimana kalau lima menit lagi?" Karena anak
usia prasekolah belum tahu konsep jam, gunakanlah weker. Benda ini wajib
ada bila kita mulai membuat kesepakatan dengan anak berdasarkan waktu.
Tunjukkan dengan weker, jam berapa (jarum pendek dan jarum panjang di
angka berapa) ibu sudah bisa diganggu. Tentu ibu harus konsekuen dengan
waktu yang telah disepakati.
Melalui "kesepakatan weker", anak
dilatih kesabarannya tanpa kehilangan kesempatan berkomunikasi dengan
orang tua. Lama-kelamaan ia pun akan belajar, kapan waktu yang tepat
untuk bertanya atau mengobrol dengan orang tua. Misal, ibu tidak akan
bisa ditanyai kalau sedang di dapur atau baru saja pulang kantor. Atau,
ayah tak mau diganggu bila sedang baca koran. Anak juga akan belajar
menghormati privasi dan kesibukan orang lain.
4. MELARANG TANPA MENJELASKAN
Dalam soal keselamatan, memang tak boleh ada kata kompromi. Namun yang
sering terjadi, orang tua melarang tanpa memberitahu alasannya. Apalagi
menerangkan fungsinya dengan benar. Contoh, anak memotong kertas dengan
gunting yang biasa dipakai orang tua untuk menggunting kain. Melihat hal
itu, dengan serta merta orang tua merebut gunting tersebut sambil
berkata dengan nada tinggi, "Tidak boleh! Ini bukan gunting mainan!"
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, belajar yang paling baik adalah belajar dengan benda-benda
yang riil. Pisau ataupun gunting menjadi benda berbahaya atau tidak,
tergantung bagaimana kita memperkenalkannya. Kalau kita melarang anak
memegang gunting tanpa menunjukkan fungsi sebenarnya, tentu menimbulkan
tanda tanya pada si anak, "Mengapa, kok, aku enggak boleh main gunting?"
Rasa penasaran ini akhirnya membuat anak malah menggunakan gunting
tersebut untuk hal-hal berbahaya, ketika dia sedang tidak dalam
pengawasan orang tua.
Ingat, di usia prasekolah, rasa ingin
tahu anak sangat besar. Anak pun cenderung senang pada sesuatu yang
jarang diekspos kepada mereka, seperi benda-benda tajam itu. Akibatnya,
mereka jadi semakin tergoda untuk mencoba. Tetapi kalau dari awal diberi
tahu, "Kak, gunting ini tajam. Ini bagian gunting yang tajam. Jadi
harus hati-hati memegangnya. Kakak boleh memakai gunting ini, tetapi
cara memakainya seperti ini."
Dengan orang tua menjelaskan dan
memeragakannya, anak akan mengerti. Dia pun akan lebih percaya diri saat
menggunakan benda tajam itu karena sudah memunyai kontrol yang bagus.
5. MENUNGGUI ANAK DI SEKOLAH
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di sekolah sering berdalih
anaknya belum siap ditinggal. Padahal, ini seperti lingkaran setan.
Setiap anak punya attachment dengan perasaan orang tuanya. Bila ibu "tak
rela" meninggalkan anaknya di kelas, perasaan ini bisa terbaca oleh
anak. Akibatnya, anak pun akan merasa cemas dan akibatnya di kelas
menjadi rewel. Sementara si ibu melihat, dia rewel karena tak bisa
ditinggal. Jadi, seperti lingkaran yang tak terputus.
Penting
diingat, faktor kesiapan anak cukup berpengaruh terhadap keberhasilannya
selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari segi usia memang
sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang ketergantungannya
pada orang lain, terutama orang tua. Kalau ia tak kunjung siap, bisa
setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di kelas.
Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti
itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja.
Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung
dengan teman-temannya sekelas.
Masalah menunggui anak ini
sering muncul pada ibu-ibu yang tidak bekerja. Itu karena sebagai full
time mother, waktu mereka sepenuhnya ditumpahkan dengan selalu
menghabiskan waktu bersama anak. Sebelum masa sekolah, si ibu bisa
membawa anaknya ke mana-mana. Begitu anak sekolah, hubungan ini jadi
terputus. Mungkin secara psikologis, si ibu kehilangan identitas diri,
sehingga terus berusaha mengupayakan hubungan dengan anak, dengan cara
mendampinginya terus, termasuk menunggui di sekolah.
Padahal
bila terus ditunggui, rasa percaya diri anak menjadi tidak berkembang.
Ia tidak kunjung yakin bisa menjaga dirinya sendiri. Padahal di usia
prasekolah, penting bagi anak untuk punya perasaan otoritas, yaitu
kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain itu, situasi
ini bisa membingungkan anak karena di satu pihak, dirinya selalu
ditunggui dan diawasi oleh ibu, tapi di lain pihak, ia juga dituntut
kemandiriannya. Misal, harus makan sendiri, mandi sendiri dan
lain-lainnya.
TINDAKAN YANG BENAR: Berhentilah
menunggui anak di sekolah. Bila tindakan ini tak bisa dilakukan secara
langsung, maka lakukan secara bertahap. Misalnya, hanya lima belas menit
pertama saja ia ditunggui, setelah itu tinggalkan sampai waktunya
dijemput.
Ada juga kasus anak sudah mau ditinggal tapi suatu
waktu ia ingin ditunggui orang tuanya di sekolah dengan alasan
bermacam-macam. Dalam hal ini, boleh saja orang tua menuruti keinginan
anak tetapi tak perlu menungguinya sepanjang waktu. Cukup selama 15
menit pertama (di kelas atau di dekat jendela kelas bila diizinkan)
setelah itu menyingkirlah ke area yang tidak terlihat anak.
Bila ibu memang "tak sanggup" berpisah dari anaknya, cobalah lakukan
kegiatan bermanfaat di sela-sela waktu menunggu. Di antaranya, ibu bisa
mengajukan diri ke pihak sekolah sebagai volunteer (sukarelawan),
misalnya menjadi story teller (pencerita di kelas) atau menjadi
koordinator kegiatan sosial yang diadakan sekolah.
6. MEMBERI BANYAK MAINAN TAPI TAK PERNAH MENEMANI BERMAIN
Boleh saja memberikan banyak mainan kepada anak, tetapi apalah artinya
itu semua bila orang tua tak pernah menemani anak bermain. Sering orang
tua berdalih, "Toh, anak sudah dibelikan mainan yang bersifat edukatif."
Contohnya, pasel atau permainan balok susun. Padahal, tanpa
pendampingan orang tua, anak tak mampu mengerti fungsi mainan tersebut.
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, apa pun jenis mainan yang diberikan kepada anak, tak jadi
soal. Termasuk robot-robotan dan senjata yang kerap digolongkan bukan
mainan edukatif. Justru lebih baik anak memainkan kedua mainan tersebut
tetapi didampingi orang tua ketimbang memainkan mainan edukatif tetapi
si anak dibiarkan bermain sendirian.
Pasalnya, dengan orang tua
mendampingi anak bermain, minimal orang tua dapat mengenalkan sesuatu
yang baru pada anak lewat media mainan. Saat anak bermain
pistol-pistolan, orang tua bisa menjelaskan kegunaan senjata tersebut
bahwa pistol digunakan bukan untuk tujuan sadisme tetapi untuk tujuan
lain yang lebih positif, misal.
Dengan kata lain, mainan apa
pun bisa menjadi edukatif selama orang tua bisa menggunakan mainan
tersebut sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan kepada anak.
Terlebih di usia prasekolah dimana penanaman nilai-nilai sosial banyak
diperkenalkan, mainan bisa menjadi media yang efektif.
7. ANAK TAK DIBIASAKAN MEMILIH
Di usia 4 tahun, anak mulai punya dorongan untuk melakukan apa-apa
sendiri. Mereka berada pada tahap otoritas atau ingin menunjukkan siapa
aku. Kemampuan kognitif yang meningkat dengan cepat juga mendorong
mereka untuk selalu ingin melakukan apa-apa sendiri. Tetapi karena masih
belajar, tentu butuh bimbingan orang tua. Yang paling baik, anak
diberikan pilihan-pilihan, lalu diajarkan bertanggungjawab pada
pilihannya. Namun yang kerap terjadi, orang tua justru bertindak
sebaliknya.
Segala sesuatu untuk anak dipilihkan dan diputuskan
sendiri oleh orang tua tanpa melibatkan anak. Sikap orang tua yang
seperti ini sungguh tak baik dampaknya buat perkembangan anak. Salah
satunya, anak jadi tak bisa menentukan pilihan. Ia cenderung mengekor
pada pilihan dan keputusan orang lain. Kasihan, bukan?
TINDAKAN YANG BENAR:
Penting mengajari anak untuk memutuskan pilihannya sendiri. Contoh,
memilih baju yang akan dipakainya setelah mandi, pergi ke mal, atau baju
tidur. Bila orang tua khawatir pilihan anak tidak cocok, maka orang tua
bisa memberikan beberapa alternatif pilihan, "Kakak mau pakai kaos
merah atau blus kembang-kembang kuning ini?"
Tentunya, untuk
hal-hal yang sifatnya berbahaya, orang tua tak bisa memberikan pilihan.
Tetapi anak harus dijelaskan, mengapa ia tak boleh bermain dengan
menggunakan gunting milik orang tua, misal. Kemudian berikan
alternatifnya, yaitu gunting yang dirancang khusus untuk anak. Tetapi
bermainnya dengan didampingi orang tua.
Dengan begitu, anak
terpuaskan. Dia pun tahu, mengapa ada hal-hal yang boleh dan tidak
boleh, terutama yang berkaitan dengan keselamatan. Bila perlu, buatlah
daftar hal-hal yang masih bisa dikompromikan dan yang tidak. Jabarkan
semuanya kepada anak. Dari sini anak bisa melihat, "Meski aku enggak
boleh melakukan A, tetapi aku boleh melakukan B." Anak juga belajar,
tidak semua yang diinginkannya akan dia peroleh.
Memberikan
kesempatan memilih pada anak bukan cuma mengajarkan kemandirian, tetapi
juga membuat anak merasa dihargai karena boleh memilih dan dipercaya
menjalankan pilihannya. Dengan terbiasa diberi pilihan, anak juga akan
belajar bertanggungjawab pada pilihannya. Lambat laun, ia pun mengasah
kemampuannya untuk memutuskan sesuatu dengan lebih baik.
0 komentar: